EKSISTENSI PEMBUKTIAN ELEKTRONIK
Oleh: Maruli Salaungan Harahap, S.H. – @legalaccess.id
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek hukum yang berlaku. Perkembangan teknologi informasi terutama dalam bidang komunikasi, sedikitnya ada dua teknologi yang berkembang sangat pesat dan agresif, yakni telepon seluler (handphone) dan komputer berjaringan internet.1
Teknologi sangat membantu masyarakat dalam segala hal dengan cepat dan efisien sehingga mereka maju dan berkembang.2 Namun muncul kekhawatiran ketika alat komunikasi secara elektronik akan disalahgunakan untuk keuntungan pribadi dan merugikan orang lain.
Untuk mengatasi penyalahgunaan penggunaan media elektronik, pendekatan hukum sangat diperlukan guna memperoleh kepastian hukum3. Pendekatan hukum tentunya juga diperlukan untuk menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan bukti elektronik, antara lain pencemaran nama baik, wanprestasi, penipuan dalam transaksi bisnis dan berbagai macam perbuatan hukum lainnya yang melibatkan unsur elektronik.
Untuk menyelesaikan perkara dengan media elektronik aparat penegak hukum masih sering menghadapi permasalahan dalam pembuktian. Permasalahan dalam pembuktian ini terjadi karena pembuktian menggunakan bukti elektronik pada persidangan masih menjadi hal yang tidak biasa. Sebagaimana dapat kita ketahui bahwa mengenai informasi elektronik merupakan hal baru dalam hukum pidana dan hukum perdata di Indonesia.
Baik dalam hukum acara pidana4 dan hukum acara perdata5 di Indonesia tidak mengenal informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah. Sistem pembuktian dalam Hukum Acara Indonesia belum memuat mengenai alat bukti elektronik. Kenyataan saat ini banyak sekali muncul kejahatan maupun perbuatan hukum yang berkaitan dengan dunia maya yang menggunakan bukti elektronik untuk mengungkap proses pembuktian baik perkara pidana maupun perdata.
Berkaitan dengan tujuan dari hukum itu adalah untuk mencapai suatu keputusan yang seadil-adilnya oleh karena itu proses pembuktian merupakan suatu tahap yang sangat menentukan bagi hakim untuk memperoleh keyakinan untuk menjatuhkan putusan.
Mengacu pada alat bukti yang ditentukan dalam aturan hukum acara pidana6 maupun perdata7, maka munculah suatu pertanyaan masuk kelompok manakah alat bukti elektronik itu.
Mengingat surat elektronik dan dokumen elektronik pada intinya merupakan data yang dituangkan dalam bentuk elektronik yang belum diatur dalam hukum acara Indonesia, maka untuk menentukan apakah surat elektronik dan dokumen elektronik masuk ke dalam kategori alat bukti berupa surat merupakan suatu hal yang tidak mudah.
Belum adanya ketentuan yang mengatur tentang keabsahan bukti elektronik pada pembuktian persidangan perkara pidana maupun perdata tentu menjadi permasalahan yang dihadapi aparat penegak hukum saat ini. Dalam menggunakan bukti elektronik pada pembuktian persidangan tentu akan menyebabkan terjadi pro dan kontra mengenai bagaimana kekuatan pembuktian bukti elektronik.
PEMBAHASAN
Dalam pemahaman kekuatan pembuktian, suatu informasi elektronik adalah bernilai secara hukum karena secara fungsional keberadaannya adalah sepadan atau setara dengan suatu informasi yang tertulis di atas kertas, sebagaimana telah diamanatkan dalam UNCITRAL8 tentang nilai hukum dari suatu rekaman elektronik karena memenuhi unsur-unsur tertulis, bertanda tangan, dan asli.9
Menindaklanjuti hal tersebut dengan keberlakuan UU ITE10, suatu informasi elektronik di
Indonesia juga telah diterima sebagai alat bukti sebagaimana telah diakomodir dalam Pasal 5 UU
ITE sehingga kehadirannya tidak dapat ditolak hanya karena bentuknya elektronik. Adapun berikut isi daripada pasal tersebut:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Kemudian terdapat Penjelasan Pasal 5 ayat 4 huruf a, yakni: Surat yang menurut undang- undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.
Pasal 6 UU ITE lebih merangkumkan semua unsur tersebut secara kumulatif sehingga akan lebih fleksibel dalam penerapannya. Dalam Pasal 6 UU ITE, disebutkan: Dalam hal terdapat
ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.11
Kemudian dalam Pasal 7 UU ITE, disebutkan: “Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang- undangan”
Mengenai persamaan atau kesetaraan tersebut dikenal dengan istilah kesetaraan fungsional (functional equivalent approach), yakni mempersamakan secara fungsional bahwa suatu informasi elektronik adalah sama dengan bukti tulisan jika memenuhi setidaknya tiga dasar, yakni:12
1. Informasi tersebut dianggap tertulis jika ia dapat disimpan dan ditemukan kembali;
2. Informasi tersebut dianggap asli jika yang disimpan dan ditemukan serta dibaca kembali tidak berubah substansinya, atau dengan kata lain terjamin keotentikan dan integritasnya; dan
3. Informasi tersebut dianggap bertanda tangan apabila terdapat informasi yang
menjelaskan adanya suatu subjek hukum yang bertanggung jawab di atasnya atau terdapat sistem otentikasi yang reliable menjelaskan identitas dan otorisasi ataupun verifikasi dari pihak tertentu.
Tiga dasar persamaan informasi elektronik adalah sama dengan bukti tulisan apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (4) UUITE yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta, maka UUITE membatasi bahwa dokumen elektronik tidak berlaku terhadap dokumen atau akta notaris atau akta yang dibuat oleh PPAT.13
Berdasarkan penjelasan tersebut maka kekuatan pembuktian alat bukti elektronik sama seperti kekuatan pembuktian alat bukti yang telah diatur dalam KUHAP sebagai dasar hukum untuk Peradilan Pidana maupun HIR dan RBg sebagai dasar hukum untuk Peradilan Perdata .
PENUTUP
Dari penulisan di atas, dapat disimpulkan, bahwa pengaturan (legalitas) alat bukti elektronik secara sah telah di perjelas di dalam BAB III tentang Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik dalam Pasal 5, Pasal 6, dan melalui penegasan kembali di dalam Pasal 44 UU ITE. Alat bukti elektronik ini sangat dibutuhkan dalam Sistem Peradilan Pidana maupun Perdata guna untuk menjatuhkan putusan dengan seadil-adilnya dengan menjadikan alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di dalam persidangan peradilan. Dan juga pengaturan alat bukti elektronik di dalam UU ITE tersebut di atas, merupakan perluasan dari alat bukti yang sudah di atur baik di dalam KUHAP maupun dalam HIR dan RBg.
1 H. Kasiyanto Kasemin, Agresi Perkembangan Teknologi, (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 205
2 Nurudin, Adelia Septiani Restanti Tania dan Aulia Fitria , Media Sosial, Identitas, Transformasi, dan
Tantangannya, (Malang: Ilmu Komunikasi UMM, 2020), hal. 129
3 Kepastian hukum adalah syarat mutlak setiap aturan. Aliran yuridis dogmatik bahwa tujuan hukum semata- mata untuk mencapai suatu kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum, fungsi hukum dapat
berjalan dan menciptakan ketertiban. Lihat Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 260
4 Ketentuan hukum mengenai Hukum Acara Pidana Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tetang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut “KUHAP”
5 Ketentuan hukum mengenai Hukum Acara Perdata Indonesia adalah Inlandsch Reglement (IR) diundangkan
melalui Staatsblad No. 16 Tahun 1848 dan diperbaharui menjadi Herziene Indonesich Reglement (HIR) melalui Staatsblad No. 44 Tahun 1941 dan Reglement Voor de Buitengewesten (RBg), yang diundangkan melalui Staatsblad No. 227 Tahun 192
6 Alat Buktihukum Acara Pidana berdasarkan Pasal 141 KUHAP antara lain sebagai berikut Keterangan, Saksi,
Keterangan Ahli Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa
7 Alat Bukti Hukum Acara Perdata berdasarkan Pasal 164 HIR jo. 1866 BW adalah antara lain sebagai berikut
Tulisan atau Surat, Saksi-saksi, Persangkaan, Pengakuan dan Sumpah
8 UNCITRAL adalah singkatan dari United Nations Commission on International Trade Law. dibentuk oleh Majelis umum PBB pada tahun 1966. Sebagai badan hukum utama (core legal body) dari PBB di bidang Hukum Perdagangan Internasional, mandat dari UNCITRAL adalah untuk lebih memajukan harmonisasi dan unifikasi ketentuan-ketentuan hukum dibidang perdagangan internasional. Lihat Asep N. Mulayana, Deferred Presecution Agreement Dalam Kejahatan Bisnis, (Jakarta: PT Grafindo, 2019), hal. 22
9 Edmon Makarim, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang Cybernotary atau Electronic
Notary, (Jakarta: PT RajaGrafindo PErsada, 2016), hal. 24-25
10 UU ITE sebagaimana dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 jo Undang-Undang Nomor 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
11 Ibid.
12 Edmon Makarim, Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal 40
13 Widya Sujud Nadia, Kekuatan Hukum Akta Notaris Berdasaran Cyber Notary Menurut Sistem Hukum di
Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum, (Medan: Repositori Institusi USU, 2018), hal. 12